BlueDesiro

Ketika mimpi diraut dan diasah, namun tiba-tiba patah, tenang saja.. masih ada kata 'CINTA' yang sudah kamu toreh disana, dikertas pilihanmu...

Dandelion

Kita berdiri berhadap-hadapan. Berawal dari titik kosong. Wajahmu datar, sedatar air permukaan kolam. Dan aku berseri-seri, seperti air kolam ditempa matahari senja. Angin melambaikan rambutku dan kamu masih tetap diam, seolah aku tidak ada.

Matamu masih coklat. Rambutmu masih hitam dan beberapa uban bermunculan diantaranya. Hidungmu masih mancung. Badanmu masih tegap dan lebih tinggi 5 sampai 10 centi dariku. Wangi tubuhmu pun masih sama. Hanya satu yang berbeda, Kamu milikku sekarang.

"Mau main apa?"
"Main apa aja."
"Nggak jelas."
"Ayo jalan-jalan."

Dan kamu pun berjalan dibelakangku. Memperhatikan aku yang sibuk berloncatan kesana-kemari. Sebentar aku berhenti memperhatikan barisan kembang sepatu yang berwarna merah dan kamu akan menunjukan sesuatu yang belum aku tahu.

"Liat, dia lagi kawin."
"Wah? kok tau?"
"Itu liat... nempel kan? Itu namanya ...."

Dan kamu pun menjelaskan panjang lebar sedangkan aku hanya bisa mengangguk-angguk. Kemudian dengan kampungannya aku mencoba menempelkan serbuk-serbuk kuning kembang sepatu ke bunga yang letaknya bersebrangan.

"Ngapain sih?"
"Ngawinin. Hehe"
"Aduuuh.. ngapain sih?! ntar juga bisa kawin sendiri. Apa gunanya serangga? Angin juga bisa jadi perantara kok."
"Ooo gitu yaa.."
"Hadeeeh... ini lagi, malah diterusin."
"Biar, Biar aku yang jadi perantara dari manusia."
"Iiiih.. apaan sih?"
"Heheh"

Setelah itu kita berlarian menghindari rumput 'jahat' (sebutan rumput duri bagiku). Dan aku akan seperti anak kecil yang sedang bermain engklek. Lompat sana, lompat sini. Kamu yang berjalan dibelakangku tiba-tiba berhenti, melemaskan pundak, mengernyitkan wajah, tersenyum sinis, kemudian berkata, "Apaan sih...?" dan aku tetap akan berlari-berloncatan sambil tertawa-tawa.

Ketika matahari sudah mulai memilih belahan bumi lain untuk bersinar, kita pun mamilih untuk menyusuri lapangan parkir yang kosong itu. Dan disepanjang jalan itu aku akan sibuk merunduk dan mencabut dandelion gemuk untuk ku tiup. Terkadang tidak terbang dan aku memintamu meniupnya. Dengan setengah hati kau pun meniupkannya untukku. Ketika sudah banyak lagi dandelion putih itu ku tiup, kau pun meraih pundakku dan berbisik..


"Jangan dicabut, dia juga ingin hidup."

Jika aku Dandelion, aku akan bersyukur. Kamu telah menjagaku. Tapi, aku lebih bersyukur, kamu telah memilikiku, Hipotesa Diraya Werkudara-ku.